fpip.umsida.ac.id — 20 October 2025 Nyai Walidah Auditorium, GKB 7, 7th floor of UMSIDA Campus 3. Sejak pukul 08.00 pagi, ratusan peserta tampak antusias mengikuti rangkaian INSPIRE Conference 2025 yang digelar oleh Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP).
Kegiatan ini menghadirkan berbagai pakar dari dalam dan luar negeri yang membahas tema besar tentang transformasi pendidikan dan kolaborasi lintas bidang.
Pendidikan sebagai Transformasi Nilai, Bukan Sekadar Informasi
Salah satu sesi yang paling menarik perhatian peserta datang dari Dr. Dewi Ilma Antawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang memaparkan materi bertajuk “Family Collaboration and Educational Transformation: Lessons from Multigenerational Parenting.”
Dalam paparannya, Dr. Dewi menegaskan bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya soal pengetahuan dan ujian. “Education is more than exams it’s about becoming a person of purpose and compassion,” ujarnya.
Menurutnya, transformasi pendidikan berarti mengembangkan nilai, empati, dan rasa tanggung jawab sosial yang membentuk manusia menjadi pribadi yang berdaya guna bagi masyarakat.
Ia juga mencontohkan bagaimana negara tetangga seperti Malaysia menerapkan transformasi pendidikan melalui program Service Learning Malaysia (SULAM) dan TVET & microcredentials, yang menekankan pembelajaran berbasis nilai dan keterlibatan sosial.
“Belajar tidak berhenti di ruang kelas, melainkan terus berlanjut sepanjang hidup,” tambahnya.
Kolaborasi Keluarga sebagai Pondasi Transformasi Pendidikan
Memasuki sesi inti, Dr. Dewi memaparkan pentingnya kolaborasi keluarga dalam mendukung transformasi pendidikan. Ia menjelaskan bahwa keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama yang menentukan arah perkembangan nilai, karakter, dan kecerdasan sosial anak.
Dalam konteks ini, kolaborasi lintas generasi antara kakek-nenek, orang tua, dan anak menjadi faktor penting dalam menciptakan keseimbangan dalam pola asuh.
Dalam hasil penelitiannya, Dr. Dewi menggambarkan bahwa kolaborasi keluarga yang sehat terbentuk melalui proses supportive coparenting, yaitu pola kerja sama antarorang tua (dan anggota keluarga lain) yang saling mendukung, bukan saling mengontrol. Proses ini melalui tiga tahapan utama:
Mentoring (prenatal–infancy): tahap awal pengasuhan yang menekankan dukungan emosional dan kesiapan orang tua dalam menghadapi peran baru.
Negotiating (infancy–early childhood): fase di mana orang tua belajar bernegosiasi mengenai tanggung jawab, batasan, serta pembagian peran dalam pengasuhan anak.
Supporting (early–middle childhood): masa di mana dukungan emosional, empati, dan fleksibilitas menjadi dasar bagi keseimbangan keluarga.
Selain itu, Dr. Dewi juga memaparkan beberapa faktor protektif seperti kepekaan ayah, dukungan keluarga besar, serta fleksibilitas psikologis yang dapat memperkuat kolaborasi dalam keluarga.
Sementara itu, faktor risiko seperti kelelahan ibu (maternal daily hassle) dan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi dapat menjadi hambatan dalam pengasuhan yang harmonis.
“Supportive coparenting evolves through learning, not instruction,” tegasnya.
Artinya, kerja sama antaranggota keluarga berkembang melalui proses belajar bersama dan pengalaman, bukan sekadar aturan yang kaku.
Belajar dari Pola Asuh Multigenerasi
Lebih lanjut, Dr. Dewi menekankan bahwa pola asuh lintas generasi (multigenerational parenting) memberikan pelajaran penting tentang kesinambungan nilai dalam keluarga.
Setiap generasi membawa kebijaksanaan dan pengalaman unik orang tua modern cenderung menonjolkan komunikasi terbuka dan fleksibilitas, sementara generasi sebelumnya menanamkan nilai kedisiplinan, rasa hormat, serta kebersamaan.
Menurutnya, perpaduan antara keduanya justru dapat menciptakan harmoni yang ideal dalam pendidikan anak.
“Kakek-nenek sering kali menjadi sumber nilai, sementara orang tua menjadi fasilitator pembelajaran modern. Keduanya saling melengkapi,” jelasnya.
Melalui kolaborasi lintas generasi, keluarga tidak hanya menjadi tempat tumbuhnya kasih sayang, tetapi juga wadah pembentukan nilai moral dan karakter yang kuat. Inilah yang disebut Dr. Dewi sebagai bentuk nyata transformasi pendidikan berbasis keluarga, di mana rumah menjadi sekolah pertama yang menanamkan empati, tanggung jawab, dan kebijaksanaan.
Sebagai penutup, Dr. Dewi mengajak peserta untuk melihat keluarga bukan sekadar unit sosial, tetapi sebagai fondasi utama pembentukan karakter bangsa.
“Transformasi pendidikan tidak akan tercapai tanpa transformasi keluarga,” ujarnya dengan penuh semangat.
Melalui sesi inspiratif dari Dr. Dewi Ilma Antawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog, peserta INSP!RE Conference 2025 diajak untuk memandang pendidikan sebagai proses yang berakar pada nilai kemanusiaan dan kolaborasi keluarga. Di tengah perubahan zaman dan tantangan global, keluarga menjadi pilar utama yang memastikan anak tumbuh tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara emosional.
Penulis: Nabila Wulyandini

















