fpip.umsida.ac.id — Fenomena fatherless atau ketidakhadiran sosok ayah dalam pengasuhan anak kini semakin mendapat perhatian serius di Indonesia.
Negara ini tercatat sebagai salah satu negara dengan angka krisis fatherless tertinggi di dunia.
Menurut Zaki Nur Fahmawati, MPsi Psikolog, dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), fatherless tidak selalu berarti ayah tidak ada secara fisik.
Fenomena ini juga bisa terjadi ketika ayah hadir, namun tidak berperan dalam pengasuhan anak, yang dikenal sebagai father hunger.
“Fatherless artinya pengasuhan dalam keluarga tidak seimbang. Idealnya, keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan anak,” ujar Zaki.
Ketika ayah tidak berperan, hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengasuhan, yang pada gilirannya mempengaruhi kondisi psikologis anak.
Penyebab Fatherless dan Father Hunger

Sumber: Pexels
Zaki menjelaskan bahwa di Indonesia banyak keluarga yang secara fisik memiliki ayah, namun ayah tersebut tidak terlibat dalam pengasuhan anak.
Ayah hadir tetapi secara emosional tidak ada, yang berakar pada budaya patriarki yang menganggap peran ayah hanya sebatas pencari nafkah, sementara pengasuhan anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ibu.
“Banyak ayah yang tidak terlatih untuk terlibat dalam pengasuhan, karena secara budaya tidak diajarkan demikian,” tambah Zaki.
Selain itu, perceraian, kematian, dan pekerjaan ayah yang mengharuskannya tinggal jauh dari keluarga juga menjadi faktor penyebab fenomena ini.
Lihat Juga: Culture Study Bromo 2025 Tumbuhkan Semangat Belajar di Luar Ruang Kelas
Lebih lanjut, Zaki mengungkapkan bahwa banyak pria yang merasa siap menjadi suami, tetapi tidak siap menjadi ayah.
Ketidaksiapan ini sering kali berasal dari pengalaman masa kecil, di mana mereka tidak memiliki contoh ayah yang baik.
Dampak Psikologis Anak yang Tumbuh Tanpa Figur Ayah

Sumber: Pexels
Ketiadaan sosok ayah dalam pengasuhan berpotensi membawa dampak psikologis yang signifikan bagi anak.
Berdasarkan penelitian psikologis, anak yang tumbuh dalam kondisi fatherless berisiko mengalami kesulitan dalam mengelola emosi, memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan menghadapi masalah sosial.
“Kemampuan anak dalam meregulasi emosi banyak dipengaruhi oleh kedekatan dengan ayah. Tanpa figur ayah, anak kesulitan mengekspresikan emosi dengan aman,” jelas Zaki.
Dampak negatif ini tidak hanya dirasakan pada masa kanak-kanak, tetapi juga bisa terbawa hingga dewasa.
Zaki juga menegaskan bahwa peran ayah sebagai pengajar dalam kehidupan sehari-hari sangat penting.
Ayah mengajarkan anak bagaimana bertahan hidup di luar rumah, tanggung jawab, empati, dan ketahanan menghadapi dunia luar.
Lihat Juga: Program Magang Internasional 2025 FPIP Umsida Bekali Mahasiswa PBI Mengajar di Thailand
Tanpa peran ini, anak akan kesulitan dalam membangun kemandirian dan ketangguhan diri.
Bagi anak laki-laki, fatherless menghambat pembentukan identitas diri sebagai laki-laki dewasa yang bertanggung jawab dan penyayang.
Sedangkan bagi anak perempuan, ketiadaan ayah berisiko menyebabkan trust issues, atau kesulitan mempercayai orang lain.
“Anak perempuan yang dewasa bisa terjebak mencari sosok penyayang di tempat yang salah, karena tidak tahu bagaimana hubungan yang sehat,” tambah Zaki.
Selain itu, anak dengan latar belakang fatherless cenderung kesulitan dalam adaptasi sosial, seperti membangun hubungan yang sehat dan mengalami rasa takut kehilangan yang tinggi.
Membangun Kesadaran Baru bagi Ayah dan Calon Ayah

Sumber: Pexels
Sebagai langkah pencegahan, Zaki menekankan pentingnya edukasi bagi calon ayah tentang peran penting mereka dalam pengasuhan anak.
“Penting untuk memberikan edukasi tentang bagaimana menjadi ayah yang baik, yang tidak hanya berfungsi sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai teladan dan sumber belajar bagi anak,” ujarnya.
Selain itu, komunikasi terbuka antara suami dan istri juga sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan dalam pengasuhan anak.
Ibu perlu mendekatkan anak dengan ayahnya untuk menciptakan sinergi yang baik dalam keluarga.
Untuk keluarga yang telah bercerai, Zaki menyarankan agar kedua orang tua tetap berkomitmen dalam pengasuhan bersama meski sudah berpisah.
Lihat Juga: International Class Session 2025 Perkuat Pengalaman Akademik dan Kolaborasi Global Mahasiswa FPIP Umsida
“Meskipun berpisah, komunikasi dan keterlibatan ayah dalam kehidupan anak tetap penting,” tambahnya.
Namun, jika ayah benar-benar tidak dapat hadir, Zaki menyarankan agar anak tetap mendapatkan figur laki-laki dewasa lain yang bisa dijadikan panutan, seperti paman, kakek, atau guru.
“Anak tetap perlu belajar tanggung jawab, empati, dan ketahanan diri dari sosok laki-laki dewasa yang peduli,” ujarnya.
Fenomena fatherless mengingatkan kita bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan bukan hanya masalah kehadiran fisik, tetapi juga kehadiran emosional dan spiritual yang sangat penting dalam membentuk karakter anak di masa depan.
Penulis: Nabila Wulyandini














