fpip.umsida.ac.id – Kasus perundungan yang melibatkan pengusaha asal Surabaya, Ivan Sugianto, menjadi pembicaraan hangat setelah video aksinya viral di media sosial. Dalam video berdurasi satu menit empat detik, Ivan terlihat mendatangi SMAK Gloria 2 Surabaya dan meminta seorang siswa bersujud serta menggonggong di hadapannya sebagai permintaan maaf.
Peristiwa ini dipicu oleh dugaan ejekan siswa tersebut terhadap anak Ivan, yang disebut memiliki rambut mirip anjing pudel. Anak Ivan sendiri bersekolah di SMA Cita Hati Surabaya.
Reaksi Ivan dianggap berlebihan oleh banyak pihak, termasuk pakar pendidikan. Dr. Septi Budi Sartika, M.Pd., Dosen Program studi Pendidikan IPA sekaligus Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), memberikan pandangannya mengenai peristiwa ini.
“Kasus seperti ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan. Tidak perlu sampai mempermalukan pihak lain, apalagi melibatkan anak-anak,” ungkapnya.
Menurut Dr. Septi, sekolah-sekolah, termasuk yang terakreditasi baik seperti SMAK Gloria 2, umumnya memiliki Tim Perlindungan Perundungan dan Kekerasan (TPPK). Tim ini dibentuk berdasarkan aturan Kementerian Pendidikan untuk menangani kasus seperti perundungan secara bijak dan terorganisir.
“Sekolah seharusnya mengaktifkan peran TPPK untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Banyak literatur di sekolah yang menekankan pentingnya stop bullying,” tambahnya.
Pentingnya Peran TPPK dalam Menyelesaikan Perundungan
Sebagai seorang pendidik dan asesor akreditasi sekolah, Dr. Septi menyoroti pentingnya peran TPPK dalam menangani kasus perundungan.
“Setiap sekolah, baik negeri maupun swasta, wajib memiliki TPPK. Tim ini bertugas memastikan adanya penanganan cepat dan tepat ketika terjadi kasus bullying atau kekerasan di lingkungan sekolah,” jelasnya.
Ia menegaskan, keberadaan TPPK harus menjadi solusi pertama yang diandalkan oleh pihak sekolah sebelum kasus berkembang lebih jauh.
Dr. Septi juga mengingatkan bahwa orang tua memiliki peran besar dalam menghadapi kasus bullying. “Ketika anak melaporkan kejadian seperti ini, orang tua harus mampu menanggapinya dengan kepala dingin. Emosi hanya akan memperkeruh keadaan,” ujarnya.
Dalam pandangannya, tindakan yang diambil Ivan Sugianto justru menjadi contoh bagaimana emosi yang tidak terkendali dapat menciptakan masalah baru.
“Jika sudah seperti ini, bukannya menyelesaikan masalah, malah menimbulkan konflik lebih besar dan berujung pada proses hukum,” tambahnya.
Dr. Septi menyarankan agar setiap orang tua yang menghadapi situasi seperti ini dapat bekerja sama dengan sekolah untuk mencari solusi.
“Orang tua bisa melibatkan TPPK di sekolah untuk mediasi. Pendekatan kekeluargaan selalu lebih baik daripada balas dendam,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penyelesaian yang bijak akan menciptakan rasa aman bagi semua pihak dan mencegah dampak buruk bagi anak-anak yang terlibat.
Ivan Sugianto Ditetapkan sebagai Tersangka
Dampak dari tindakan Ivan Sugianto kini berujung pada proses hukum. Ia ditangkap di Bandara Juanda pada Kamis (14/11/2024) dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Surabaya.
Ivan didakwa dengan dua pasal, yaitu Pasal 80 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan. Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan denda maksimal Rp 72 juta.
Pasal-pasal tersebut menekankan bahwa setiap tindakan kekerasan atau pemaksaan terhadap anak adalah pelanggaran hukum yang serius.
“Ketika sudah masuk ranah hukum seperti ini, semua pihak akan dirugikan, terutama anak-anak yang menjadi korban maupun pelaku,” ujar Dr. Septi.
Ia berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat tentang bagaimana menyelesaikan konflik dengan bijak.
Dr. Septi juga menyoroti pentingnya evaluasi dalam penanganan kasus perundungan di sekolah.
“Jika kejadian ini sampai viral, berarti ada yang perlu diperbaiki, baik di sisi sekolah maupun orang tua. Pihak sekolah harus tetap dilibatkan dalam menyelesaikan kasus yang menyangkut nama institusinya,” katanya.
Pentingnya Edukasi dan Pendekatan Kekeluargaan
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya edukasi tentang perundungan, baik di sekolah maupun di rumah. Menurut Dr. Septi, TPPK tidak hanya bertugas menyelesaikan konflik, tetapi juga memberikan edukasi kepada siswa, guru, dan orang tua tentang dampak buruk bullying.
“Semua pihak harus memahami bahwa bullying tidak hanya menyakiti fisik, tetapi juga melukai mental. Solusi terbaik adalah pendekatan preventif melalui edukasi,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya orang tua sebagai role model dalam mengajarkan nilai-nilai empati dan pengendalian emosi.
“Ketika orang tua bisa memberikan contoh yang baik, anak-anak akan belajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara yang benar,” katanya. Dengan pendekatan yang lebih manusiawi, konflik seperti ini tidak perlu terjadi, apalagi sampai menjadi konsumsi publik.
Dr. Septi berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik sekolah, orang tua, maupun masyarakat luas.
“Kita semua harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari bullying, baik di sekolah maupun di rumah. Dengan begitu, kita bisa membangun generasi yang lebih baik,” pungkasnya.
Sumber: https://www.kompasiana.com/umsidamenyapa1912/6736dc7dc925c41fbf7ded12/tanggapan-dosen-umsida-tentang-kasus-ivan-sugianto-dan-perundungan