fpip.umsida.ac.id — Pelatihan koding dan kecerdasan artifisial (KKA) yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) memasuki hari kelima pada Jumat, 18 Juli 2025. Kegiatan yang berlangsung di ruang kelas 703 GKB 3, Kampus 1 Umsida ini, memfokuskan pada pemaparan Modul 5 yang membahas pedagogik untuk KKA. Pelatihan ini diikuti oleh para guru dari jenjang SMP dan SMA, yang merupakan bagian dari program pengembangan keterampilan dalam mengajar koding dan kecerdasan artifisial dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan bermakna.
Modul 5 kali ini dipandu oleh Akbar Wiguna SPd MPd, dosen Pendidikan Teknologi Informasi (PTI) dan Cindy Taurusta SST MT, dosen Prodi Informatika. Kegiatan hari ini diawali dengan pemaparan materi modul yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok, presentasi, dan tanya jawab antar peserta.
Prinsip Pedagogik dalam KKA: Menyesuaikan Pembelajaran dengan Karakter Siswa
Dalam sesi pertama, Akbar Wiguna menjelaskan mengenai prinsip pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam mengajarkan koding dan kecerdasan artifisial. “Penting bagi kita untuk memahami karakteristik peserta didik (PD), karena pembelajaran yang maksimal terjadi jika kita bisa menyesuaikan dengan kemampuan serta gaya belajar masing-masing siswa,” ujar Akbar.
Ia juga menekankan pentingnya pemahaman terhadap teori pembelajaran dan penguasaan kurikulum. “Sebagai guru, kita harus tahu teori pembelajaran yang mendasari strategi mengajar kita, serta memahami potensi siswa. Ketika kita mengenali potensi mereka, pembelajaran akan lebih efektif dan mendukung prestasi siswa,” tambahnya.
Akbar juga membahas bagaimana pentingnya untuk membawa materi pelajaran lebih dekat dengan kehidupan siswa, terutama dalam konteks geografis. “Jika kita dapat menghubungkan materi pelajaran dengan dunia mereka sehari-hari, siswa akan lebih termotivasi untuk belajar,” tuturnya. Pendekatan ini, menurutnya, tidak hanya relevan dalam konteks koding dan kecerdasan artifisial, tetapi juga dalam pembelajaran umum agar lebih menyentuh kebutuhan dan minat siswa.
Prinsip pedagogik yang lebih dalam juga melibatkan pengetahuan tentang potensi siswa. “Ketika kita tahu minat dan bakat siswa, kita bisa lebih mendukung mereka dalam belajar. Ini membuat pembelajaran menjadi lebih nyaman dan efektif,” lanjut Akbar. Dalam mengajar KKA, hal ini sangat penting karena teknologi harus bisa diterima dengan mudah oleh siswa, yang berasal dari berbagai latar belakang.
Salah satu peserta pelatihan, memberikan pandangan, “Jika siswa tidak menguasai bidang ini sama sekali, kita harus menetapkan standar minimal yang memungkinkan mereka belajar dan berkembang dalam bidang ini.”
Ini mencerminkan betapa pentingnya penyesuaian dalam pembelajaran, terutama ketika mengajar materi yang sebelumnya tidak dikenal oleh siswa. Dengan prinsip pedagogik yang tepat, seperti memahami karakteristik siswa dan menerapkan pendekatan yang sesuai, materi pelajaran dapat lebih mudah dipahami dan diterima.
Mengintegrasikan Teknologi dalam Pembelajaran Koding dengan Pendekatan TPACK dan HOTS
Sesi berikutnya membahas integrasi teknologi dalam pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial melalui kerangka TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge). Akbar Wiguna menjelaskan bahwa TPACK terdiri dari tiga elemen utama, yakni: PCK (Pedagogical Content Knowledge), TCK (Technological Content Knowledge), dan TPK (Technological Pedagogical Knowledge). “Kombinasi dari ketiga elemen ini akan memungkinkan guru m
erancang pembelajaran yang tidak hanya kontekstual, tetapi juga relevan dengan perkembangan teknologi yang ada,” ujarnya.
Selain itu, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan HOTS (Higher Order Thinking Skills) juga ditekankan dalam modul ini. Akbar menyampaikan bahwa HOTS sangat penting untuk membangun keterampilan berpikir kritis dan kreatif pada siswa. “HOTS adalah keterampilan yang harus kita tanamkan kepada siswa, yaitu kemampuan mereka untuk mentransformasikan pengetahuan yang didapat, memecahkan masalah, dan berpikir kritis,” jelas Akbar.
Selama sesi, peserta juga dipersiapkan untuk menerapkan taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcome) sebagai bagian dari pend
ekatan HOTS. Taksonomi SOLO lebih terstruktur dan menggantikan Bloom’s Taxonomy dalam memahami tingkat pemahaman dan pencapaian siswa. Dengan menggunakan taksonomi SOLO, guru bisa lebih mudah dalam memetakan klasifikasi pengalaman belajar siswa.
Proyek Microteaching: Menerapkan Pembelajaran Mendalam dalam Praktek
Desain Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) dalam pelatihan ini menekankan tiga aspek penting, yaitu Bermakna (Meaningful Learning), Berkesadaran (Mindful Learning), dan Menyenangkan (Joyful Learning). Pembelajaran bermakna membantu siswa mengaitkan pengetahuan dengan pengalaman nyata, sementara pembelajaran berkesadaran mendorong siswa untuk berpikir kritis dan aktif. Pembelajaran yang menyenangkan meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa. Proses pembelajaran dilakukan melalui tiga tahapan, yakni memahami (konstruksi pengetahuan dasar), mengaplikasikan (penerapan pengetahuan dalam konteks nyata), dan merefleksi (evaluasi dan perbaikan pembelajaran), yang bertujuan memberikan dampak yang mendalam bagi perkembangan siswa.
Sebagai bagian dari proyek akhir, para peserta diminta untuk merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau modul ajar berbasis pendekatan pembelajaran mendalam. RPP tersebut nantinya akan diterapkan dalam sesi microteaching (mengajar di depan rekan sejawat), yang akan dievaluasi oleh fasilitator. Proyek ini dirancang untuk mengukur sejauh mana peserta dapat mengintegrasikan konsep-konsep yang telah dipelajari, seperti pedagogik, HOTS, dan TPACK dalam pembelajaran nyata.
Akbar menjelaskan, “Setelah sesi IN ini, peserta akan mengikuti sesi On the Job Training (OJT), di mana mereka akan melaksanakan proyek microteaching dengan dilengkapi perangkat dan pendukung pembelajaran yang telah disiapkan. Ini adalah kesempatan bagi guru untuk mengaplikasikan teori yang telah dipelajari.”
Penulis: Mutafarida