fpip.umsida.ac.id – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) melalui Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP) terus berkomitmen dalam meningkatkan kompetensi calon guru dalam pendidikan inklusi. Pada hari keempat pelatihan pendidikan inklusi yang dilaksanakan pada Kamis 6 dan 13 Februari 2025, peserta mendapatkan materi tentang Program Kebutuhan Khusus dan Program Kompensatoris yang disampaikan oleh Miseri MPd.
Pelatihan ini bertujuan untuk membekali calon guru dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang layanan pendidikan inklusi bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Melalui program ini, mahasiswa diajak untuk memahami bagaimana memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak agar mereka mendapatkan akses pembelajaran yang optimal.
Program Kebutuhan Khusus dan Kompensatoris dalam Pendidikan Inklusi
Dalam dunia pendidikan inklusi, layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus tidak hanya sekadar menyesuaikan materi ajar, tetapi juga memberikan intervensi yang sesuai agar mereka dapat belajar secara efektif. Program Kebutuhan Khusus adalah layanan intervensi yang bertujuan untuk mengurangi hambatan yang dialami anak berkebutuhan khusus dan meningkatkan akses mereka terhadap pendidikan.
Sementara itu, Program Kompensatoris adalah upaya untuk menggantikan atau mengalihkan fungsi tertentu yang lemah atau hilang dengan keterampilan lain yang memungkinkan anak tetap bisa belajar. Beberapa program utama yang dipelajari dalam pelatihan ini meliputi:
Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi (OMSK) untuk siswa tunanetra
Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama (PKPBI) bagi siswa tunarungu
Bina Bicara dan Bina Diri bagi anak tunagrahita
Pengembangan Interaksi Sosial, Komunikasi, dan Perilaku bagi anak dengan autisme
Miseri MPd menjelaskan bahwa setiap peserta didik berkebutuhan khusus memerlukan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. “Guru harus memiliki pemahaman yang kuat dalam memberikan layanan kompensatoris agar setiap anak mendapatkan kesempatan belajar yang sama dengan anak-anak lainnya,” ungkapnya.
Memahami Tantangan melalui Studi Kasus
Untuk memperdalam pemahaman peserta, pelatihan ini juga menyajikan beberapa studi kasus nyata yang sering ditemukan dalam pendidikan inklusi.
Salah satu kasus yang dibahas adalah Andi, seorang siswa tunanetra kelas empat di sekolah inklusif yang mengalami kesulitan membaca buku cetak biasa. Solusi yang diberikan adalah menyediakan bahan ajar dalam format digital serta perangkat tambahan seperti screen reader agar ia tetap bisa mengakses informasi dengan baik.
Kasus lain yang dibahas adalah Sari, seorang siswa tunarungu yang mendapatkan layanan pendidikan berupa materi ajar yang dilengkapi teks dan gambar, serta sesi terapi bina bicara untuk membantunya dalam komunikasi verbal. Sekolah juga mengajarkan bahasa isyarat untuk mendukung interaksi sosialnya dengan teman-teman.
Siti, seorang siswi tunagrahita berusia lima belas tahun, juga menjadi salah satu contoh kasus yang dianalisis oleh peserta. Siti mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara verbal dan memiliki daya ingat yang lemah, sehingga ia mendapatkan program keterampilan hidup yang membantunya dalam mengurus diri sendiri, seperti berpakaian dan makan secara mandiri.
Diskusi mengenai studi kasus ini memberikan wawasan baru bagi peserta tentang bagaimana mengadaptasi metode pembelajaran dan layanan pendidikan yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. “Melalui studi kasus ini, mahasiswa diajak untuk berpikir kritis dan mencari solusi nyata dalam menghadapi tantangan pendidikan inklusi di lapangan,” ujar salah satu peserta pelatihan.
Harapan untuk Masa Depan Pendidikan Inklusi
Pelatihan pendidikan inklusi ini menjadi langkah konkret Umsida dalam mendukung pemerataan akses pendidikan bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan adanya pemahaman tentang Program Kebutuhan Khusus dan Program Kompensatoris, diharapkan calon guru dapat lebih siap menghadapi tantangan dalam pendidikan inklusi.
Selain membekali mahasiswa dengan teori pendidikan inklusi, pelatihan ini juga menanamkan nilai empati serta keterampilan praktis yang akan sangat berguna dalam praktik pengajaran di masa depan. “Sebagai calon pendidik, kita harus mampu memberikan layanan yang tepat dan memastikan setiap anak bisa belajar dengan nyaman,” ujar salah satu peserta.
Umsida terus berkomitmen untuk menghadirkan pelatihan dan workshop berkualitas agar mahasiswa dapat menjadi pendidik yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua peserta didik. Dengan adanya program seperti ini, diharapkan sekolah-sekolah di Indonesia semakin siap dalam memberikan pendidikan yang setara bagi semua anak.
Penulis: Mutafarida