fpip.umsida.ac.id – Kejadian yang melibatkan Gus Miftah saat memberikan ceramah baru-baru ini menjadi sorotan publik. Dalam acara sholawatan di Lapangan drh Soepardi, Sawitan, Mungkid, Magelang, Gus Miftah menyebut seorang penjual es teh dengan kata kasar. Peristiwa ini kemudian menuai berbagai tanggapan, termasuk dari akademisi. Dr Supriyadi MPdI, dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, menyoroti pentingnya menjaga lisan dan adab dalam berdakwah.
Pentingnya Menjaga Lisan dalam Islam
Dr Supriyadi menegaskan bahwa lisan adalah cerminan keimanan seseorang. “Ungkapan kata-kata yang diucapkan seorang muslim kepada orang lain sesungguhnya adalah tanda keimanan dan kebaikan dirinya,” ungkapnya. Ia mengutip hadits Rasulullah, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
Menurut dosen yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Muhammadiyah Malang ini, berbicara baik adalah kewajiban, sedangkan diam adalah alternatif terakhir jika seseorang tidak mampu berkata baik. “Namun, bukan berarti diam menjadi pilihan utama, melainkan sebagai langkah terakhir ketika tidak mampu berkata yang benar,” imbuhnya.
Dakwah yang Beretika dan Menginspirasi
Dalam pandangan Dr Supriyadi, gaya berdakwah harus selalu menjunjung prinsip akhlakul karimah. Ia menjelaskan bahwa Al Quran memberikan panduan tentang tutur kata yang baik, seperti qaulan layyina (ucapan yang lemah lembut), qaulan karima (ucapan yang memuliakan), dan qaulan ma’rufan (ucapan yang baik).
“Dalam konteks bercanda, Al Quran mengajarkan qaulan maisura, yakni perkataan yang membahagiakan,” tambahnya. Ia mengkritisi, jika guyonan yang dilontarkan justru melukai perasaan orang lain, maka hal itu bertentangan dengan esensi dakwah. “Dakwah seharusnya mengajak orang pada kebaikan, bukan menjauhkan mereka dari kebaikan atau agama,” ujarnya.
Prinsip Dakwah dalam Muhammadiyah
Dr Supriyadi juga menekankan pentingnya spirit Muhammadiyah dalam berdakwah. Menurutnya, dakwah Muhammadiyah selalu mendahulukan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar tanpa menggunakan kekerasan atau ejekan. “Muhammadiyah merangkul, mengajak, mencerdaskan, dan membahagiakan, bukan menjatuhkan atau menjustifikasi perbedaan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa seorang pendakwah harus menjadi teladan, seperti yang tercantum dalam Surat An-Nahl ayat 125, yang menyerukan manusia untuk berdakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik. “Keteladanan dalam dakwah adalah kunci untuk menarik hati umat,” tambahnya.
Refleksi dari Kasus Gus Miftah
Menanggapi dukungan beberapa peserta acara yang tertawa atas ucapan Gus Miftah, Dr Supriyadi menyebut hal tersebut sebagai tanda perlunya pembinaan umat yang lebih intens. “Jika seorang pendakwah arogan dan didukung oleh lingkungannya, maka ia telah gagal menciptakan rahmatan lil alamin karena kemungkarannya menyebar,” ungkapnya.
Ia berharap kejadian ini menjadi pembelajaran bersama. “Masih banyak umat yang membutuhkan pembinaan serius, terutama dalam forum-forum kebaikan seperti pengajian,” tuturnya. Ia juga menambahkan, dakwah yang baik adalah dakwah yang mampu menyentuh hati dan membangun keimanan tanpa menyakiti.
Dosen FPIP Tekankan Dakwah Adalah Keteladanan
Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya menjaga adab dalam berdakwah. Dr Supriyadi mengajak semua pihak untuk senantiasa introspeksi dan meneladani Rasulullah dalam berkata-kata dan bertindak. Dengan begitu, dakwah akan menjadi sarana membangun umat yang kuat dan berkarakter, sesuai dengan prinsip rahmatan lil alamin.
Sumber: https://umsida.ac.id/kasus-gus-miftah-dosen-umsida-ungkap-pentingnya-lisan/