\Program Studi Magister Pendidikan Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) kembali menghadirkan kegiatan Praktisi Mengajar pada mata kuliah Pendidikan Inklusi pada Pendidikan Dasar.
Acara ini menghadirkan Nishrina Khamida MPsi Psikolog sebagai pemateri dan dilaksanakan di Kampus 1 Umsida, Gedung GKB 3 Ruang 704, pada Jumat 7 November 2025 pukul 09.00–10.40 WIB.
Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya Umsida untuk memperkaya wawasan mahasiswa magister tentang implementasi pendidikan inklusif, di bawah bimbingan Dr Machful Indra Kurniawan MPd selaku dosen pengampu mata kuliah.
Menumbuhkan Pemahaman tentang Kesetaraan dan Penerimaan

Dalam pemaparannya, Nishrina menegaskan bahwa konsep pendidikan inklusif tidak hanya sebatas menerima peserta didik dengan disabilitas ke dalam sekolah umum.
Melainkan menciptakan ruang belajar yang menghargai keberagaman tanpa diskriminasi.
Menurutnya, setiap anak berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar bersama dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
“Tidak ada istilah anak disabilitas harus di kelas sendiri,” ujarnya.
“Justru mereka perlu belajar bersama agar dapat berinteraksi, berkembang, dan diterima dalam suasana yang setara,” tambah Nishrina di hadapan para mahasiswa.
Ia menambahkan, guru dan tenaga pendidik harus memahami bahwa inklusi berarti mengakomodasi kebutuhan setiap peserta didik, bukan menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang seragam.
Guru diharapkan mampu menyediakan pilihan tempat duduk yang nyaman, memperhatikan alat bantu seperti kacamata atau alat dengar, serta memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling membantu secara alami.
Dalam sesi interaktif, Nishrina juga mengajak mahasiswa berdiskusi tentang sikap awal yang sering muncul ketika bertemu anak disabilitas seperti rasa bingung atau kasihan dan mengubahnya menjadi sikap penerimaan yang tulus.
“Yang paling dibutuhkan anak disabilitas adalah acceptance, penerimaan. Setelah diterima, barulah kita bisa mencari solusi untuk mendukung proses belajar mereka,” tambahnya.
Peran Guru dan Lingkungan Sekolah dalam Mewujudkan Inklusi
Nishrina menjelaskan bahwa pendidikan inklusif tidak dapat berjalan hanya dengan kebijakan formal.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara guru, kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar dalam membangun lingkungan yang benar-benar inklusif.
Setiap elemen sekolah, bahkan petugas kantin dan penjaga sekolah, memiliki peran dalam membentuk suasana ramah bagi semua siswa.
“Pendidikan inklusif bukan hanya urusan guru di kelas. Semua yang berada di lingkungan sekolah dari kepala sekolah hingga ibu kantin punya andil dalam membantu anak-anak belajar dan beradaptasi,” tutur Nishrina.
Ia memberikan contoh konkret tentang bagaimana petugas kantin dapat berperan dalam mengajarkan keterampilan sosial dan kemandirian pada anak disabilitas, seperti mengenal uang, melakukan transaksi sederhana, dan berinteraksi dengan orang lain.
Pendekatan pembelajaran yang bersifat fungsional dan kontekstual dianggap jauh lebih efektif daripada teori semata.
Selain itu, Nishrina juga menyoroti pentingnya generalisasi pembelajaran, yaitu memastikan kemampuan yang dipelajari anak dapat diterapkan di berbagai situasi dan tempat.
“Pembelajaran yang berhasil adalah ketika anak bisa menerapkan ilmunya di luar kelas, bukan hanya di ruang belajar,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa inklusi sejati terjadi saat setiap peserta didik dapat berpartisipasi aktif dan mandiri di manapun mereka berada.
Tantangan dan Harapan ke Depan bagi Calon Pendidik Inklusif

Menutup sesi, Nishrina mengajak mahasiswa magister untuk menjadi pendidik yang peka terhadap kebutuhan individual peserta didik.
Ia menyoroti masih adanya miskonsepsi di masyarakat, termasuk pandangan bahwa pendidikan inklusif hanya untuk anak dengan keterbatasan fisik atau intelektual.
Padahal, inklusi juga mencakup anak-anak berbakat (gifted) atau yang memiliki kebutuhan belajar berbeda dari mayoritas.
“Disabilitas bukan berarti tidak mampu. Mereka hanya membutuhkan cara belajar dan dukungan yang berbeda. Guru harus mampu memodifikasi kurikulum dan metode pembelajaran agar semua anak bisa berkembang,” tegasnya.
Dalam penjelasannya, ia mencontohkan bagaimana kurikulum tetap bisa digunakan secara umum, namun perlu adanya penyesuaian atau modifikasi untuk setiap individu.
Misalnya, jika anak belum bisa menulis, maka tugasnya bisa diganti dengan aktivitas mewarnai yang tetap sesuai tema pembelajaran.
Dengan cara ini, guru tetap menghargai kemampuan dan proses belajar masing-masing siswa tanpa kehilangan esensi pendidikan.
Kegiatan Praktisi Mengajar ini tidak hanya memberikan pengetahuan teoretis, tetapi juga membuka wawasan mahasiswa tentang realitas di lapangan.
Melalui pengalaman langsung dari seorang psikolog yang aktif mendampingi sekolah inklusif, mahasiswa Magister Pendidikan Umsida diharapkan mampu menginternalisasi nilai-nilai empati, kesetaraan, dan kolaborasi lintas peran dalam dunia pendidikan.
“Guru masa kini harus adaptif dan berpikir terbuka. Tantangan pendidikan inklusif bukan halangan, melainkan peluang untuk menciptakan sekolah yang benar-benar manusiawi,” pungkas Nishrina menutup sesi.
Dengan terselenggaranya kegiatan ini, FPIP Umsida kembali menunjukkan komitmennya dalam menyiapkan tenaga pendidik profesional yang memahami pentingnya pendidikan inklusif di semua jenjang, terutama pada pendidikan dasar.
Melalui kolaborasi antara akademisi dan praktisi, Umsida terus berupaya menghadirkan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
Penulis: Nabila Wulyandini

















