fpip.umsida.ac.id — Pelatihan Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA) yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) memasuki hari ketiga pada Rabu, 16 Juli 2025. Kegiatan kali ini dilaksanakan di ruang kelas 702 GKB 3, Kampus 1, dan dihadiri oleh para guru dari berbagai sekolah tingkat SMP di Kabupaten Sidoarjo.
Pada hari ketiga ini, materi yang diberikan berfokus pada pembahasan deepfake dan pemanfaatan kecerdasan artifisial dalam berbagai bidang, dengan fasilitator Fitria Nur Hasanah MPd dan Dr Rahmania Sri Untari MPd yang juga merupakan dosen Program Studi Pendidikan Teknologi Informasi (PTI) Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP) di Umsida.
Pelatihan dimulai dengan pemaparan singkat mengenai Modul 3, yang berisi pembahasan tentang jenis-jenis konten deepfake, ciri-ciri deepfake yang dapat diidentifikasi, serta cara penggunaan AI untuk mengganti wajah. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendiskusikan materi dan mengerjakan lembar kerja (LK) yang harus diunggah ke Learning Management System (LMS) setelah sesi diskusi.
Pemanfaatan Deepfake dan AI dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam diskusi kelompok, para peserta mempelajari lebih dalam mengenai topik deepfake dan dampaknya terhadap masyarakat. Fitria Nur Hasanah MPd, salah satu fasilitator di kelas Pendidikan Dasar (Dikdas) SMP A, menjelaskan,
“Silakan menganalisis konten yang ada di Google Drive dan diskusikan serta analisis Modul 3 menggunakan pendekatan 4F: Fact (fakta), Feeling (perasaan), Finding (temuan), dan Future (masa depan). Anda harus menyampaikan fakta yang akurat dan mengidentifikasi berdasarkan lembar kerja yang telah disediakan.”
Pendekatan 4F, yang terdiri dari Fact (fakta), Feeling (perasaan), Finding (temuan), dan Future (masa depan) adalah metode yang digunakan untuk menganalisis dan memahami suatu permasalahan secara komprehensif.
Fact (fakta) berfokus pada informasi objektif dan data yang dapat diverifikasi, memberikan dasar yang kuat untuk analisis. Feeling (perasaan) menggali reaksi emosional atau persepsi individu terhadap isu yang dibahas, penting untuk memahami dampaknya pada orang-orang yang terlibat. Finding (temuan) adalah hasil dari analisis yang mengidentifikasi pola, kesimpulan, atau temuan baru yang diperoleh selama proses pengumpulan data. Terakhir, Future (masa depan) mencakup prediksi atau rekomendasi mengenai langkah yang perlu diambil untuk menghadapi perkembangan di masa depan, serta bagaimana permasalahan yang ada dapat diatasi secara berkelanjutan.
Lihat Juga: Kuatkan Pengetahuan dan Praktek Industri!, Hima PTI Umsida Kunjungi Jawa Pos Media
Pendekatan ini membantu menciptakan pemahaman yang lebih holistik dan berbasis data terhadap suatu topik atau isu.
Topik yang paling banyak dibahas adalah penggunaan AI untuk mengganti wajah dalam konten digital dan bagaimana teknologi ini bisa memberikan dampak baik maupun buruk bagi masyarakat. “Penting untuk bisa mendeteksi deepfake agar masyarakat bisa terhindar dari informasi yang menyesatkan,” ujar Dr Rahmania, salah satu fasilitator yang turut menguatkan argumen hasil diskusi dari kelompok yang presentasi.
Selain itu, peserta juga diajak untuk menilai cara-cara pencegahan terhadap penyebaran deepfake, dengan berbagai solusi yang dapat diterapkan untuk memitigasi dampak buruknya. Salah satu solusi yang diangkat dalam diskusi adalah peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menerima informasi yang datang dari sumber yang tidak jelas.
Penggunaan AI dalam Upacara Wisuda: Pendapat dan Kontroversi
Sesi selanjutnya dalam pelatihan ini diisi dengan pemaparan mengenai pemanfaatan AI yang semakin berkembang, salah satunya untuk menghidupkan benda mati, seperti gambar atau patung. Dalam pemaparannya, Dr Rahmania menampilkan sebuah video yang menunjukkan bagaimana AI dapat digunakan untuk mempercepat proses dalam kegiatan seperti upacara wisuda.
“Dengan pemanfaatan AI, seperti yang terlihat dalam video ini, berdasarkan dari hasil angket penelitian saya banyak yang mengatakan bisa menghemat waktu panitia wisuda yang biasanya sangat padat, terutama di sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang banyak. Teknologi ini bisa membuat proses wisuda lebih efisien,” jelas Bu Rahmania.
Lihat Juga: Penghargaan Peneliti Terbaik Berhasil Diraih Oleh Dosen FPIP Umsida, Dr Rahmania Sri Untari
Namun, tidak semua peserta setuju dengan penggunaan AI dalam upacara yang memiliki nilai sakral seperti wisuda. Pak Defik, salah seorang peserta pelatihan, menyampaikan pandangannya, “Melihat situasi, jika ini digunakan untuk edukasi atau menggambarkan karakter dari gambar atau patung, saya setuju. Namun, untuk wisuda, saya tidak setuju. Penggunaan AI untuk menggantikan momen sakral ini justru bisa mengurangi makna dan kesakralannya.”
Diskusi ini membuka pemahaman tentang bagaimana AI, meskipun membawa banyak manfaat dalam hal efisiensi, tetap harus diterapkan dengan pertimbangan yang matang, terutama dalam konteks yang melibatkan nilai-nilai emosional dan sosial.
Penulis: Mutafarida